Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto: Tidak Main-main dengan Angka
Sabtu, 21 Juli 2018 19:58 WIB
UNTUK pertama kalinya dalam sejarah, angka kemiskinan di Indonesia menyentuh satu digit. Senin pekan lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia 9,82 persen atau 25,95 juta orang. Angka itu merupakan hasil survei pada Maret lalu. Berdasarkan survei terbaru itu, angka kemiskinan turun dari 10,12 persen atau 26,58 juta jiwa pada September tahun lalu.
Penyebabnya, selama September 2017 hingga Maret lalu, tingkat inflasi 1,92 persen; rata-rata pengeluaran per kapita per bulan rumah tangga 40 persen lapisan terbawah tumbuh 3,06 persen; bantuan sosial pemerintah triwulan pertama tumbuh 87,6 persen, dibanding triwulan pertama 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen; serta program beras sejahtera dan bantuan pangan nontunai triwulan pertama tepat jadwal.
Namun kabar baik ini malah menuai kritik. BPS dianggap menggunakan standar yang terlalu lunak dalam menentukan garis kemiskinan. Ada pula yang bilang angka kemiskinan terdongkrak bantuan sosial dari pemerintah yang ingin mendapat citra positif menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019.
Kepala BPS Suhariyanto membantah anggapan bahwa data yang ia sajikan bersifat politis. "Bagi BPS, yang manis dibilang manis, yang pahit dibilang pahit," kata doktor ekonomi pertanian dari University of Reading, Inggris, ini dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya di Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Kepada wartawan Tempo M. Taufiqurohman, Reza Maulana, Angelina Anjar, dan Nur Alfiyah yang menemuinya, Suhariyanto mengatakan banyak kepahitan yang terselip dalam temuan terbaru BPS. Misalnya rentannya posisi masyarakat nonmiskin yang berada di ambang garis kemiskinan dan meningkatnya koefisien Gini di perdesaan. Koefisien Gini (Gini ratio) adalah indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan, dengan besaran 0 untuk pemerataan sempurna dan 1 untuk ketimpangan absolut. "Ini warning besar," ujar pria asal Blitar, Jawa Timur, yang akrab disapa Kecuk itu.
Apa dasar Anda menyebutkan 9,82 persen sebagai angka kemiskinan terendah Indonesia sepanjang sejarah?
Karena baru sekarang kita masuk satu digit. BPS mengukur kemiskinan sejak 1988, tapi waktu itu cuma tiga tahun sekali. Ketika terjadi krisis ekonomi, BPS menyempurnakan metodologinya. Jadi, kalau kita lacak sampai sekarang, ini terendah. Pada 1999, angka kemiskinan masih 23,43 persen, sekitar 47,97 juta orang. Itu yang paling tinggi. Sejak itu, trennya turun terus, kecuali pada 2006, penduduk miskin sempat naik 4,5 juta akibat kenaikan harga bahan bakar minyak.
Faktor apa yang paling berpengaruh?
Pencairan bantuan sosial. Realisasi distribusi bantuan sosial program beras sejahtera (rastra) pada Januari lalu sebesar 99,65 persen, Februari 99,66 persen, dan Maret 99,62 persen. Jauh lebih bagus dibanding pada triwulan pertama 2017. Tahun lalu, Pak Presiden agak keras terhadap menteri-menterinya karena data BPS menunjukkan bahwa rastra tidak turun.
Angka kemiskinan saat itu naik?
Pada Maret 2017, turun 0,06 persen. Tapi jumlah penduduk miskin naik dari 27,76 juta menjadi 27,77 juta. Jadi, ketika BPS merilis itu pada Juli 2017, Pak Presiden bertanya, "Kok, stagnan, ya? Ada masalah apa, sih?" Saya sampaikan masalah ini karena rastra tidak turun pada Januari, Februari, dan Maret. Karena merasa tidak mendapat laporan, beliau agak keras dalam sidang kabinet.
Presiden Joko Widodo menegur BPS dalam sidang itu?
Sama sekali tidak. Saya tidak merasa ditegur karena saya merasa tidak salah. Warning itu justru ditujukan ke menteri-menteri.
Berita yang beredar menyebutkan Presiden meminta survei BPS disesuaikan dengan pembagian rastra....
Sebenarnya tidak begitu. Karena rastra tidak turun, beliau mengingatkan seluruh bantuan sosial harus didistribusikan secara merata sejak Januari. BPS melakukan survei setiap Maret dan September. Beliau hanya mengingatkan. Tidak bilang, misalnya, "Karena survei BPS Maret, jadi bantuan nggrojog di Maret." Belajar dari itu, tahun ini jadi lebih bagus.
Artinya waktu pemberian bantuan diselaraskan dengan survei BPS?
Kami melakukan survei di 82 kota, pemerintah pasti tahu. Tapi mereka tidak tahu di masyarakat mana dan kapan BPS datang. Katakanlah mereka menyalurkan bantuan Senin, kami datang Kamis, kan, sudah beda harganya.
Jika rastra dibagikan sebelum survei, parameter apa saja yang membaik?
Hanya pengeluaran untuk beras. Lainnya tidak terpengaruh. Karena itu, tidak bisa diakali. Untuk angka kemiskinan, kami melakukan survei di 300 ribu rumah tangga secara acak. Peta lokasi hanya BPS yang tahu. Menteri juga tidak akan saya kasih tahu. Kami pun tidak bisa mengubah survei seenaknya.
Mengapa?
Pertama, kami tidak sendiri saat merancang metodologi. Kami melibatkan semua stakeholder, termasuk para ekonom. Kedua, saya tidak akan main-main dengan angka. Taruhannya terlalu besar, reputasi. Kami itu dicek. Pertama, oleh Forum Masyarakat Statistik, yang terdiri atas guru besar berbagai universitas. Kalau ada yang krusial, saya akan dipanggil dan diinvestigasi. Kedua, oleh Dana Moneter Internasional dan PBB, dua kali dalam setahun. Mereka memberikan penilaian apakah data kami valid. Kalau ditemukan sesuatu yang tidak valid, mereka akan lapor ke Komisi Statistik PBB dan diumumkan. Seperti inflasi Argentina yang diduga diintervensi pemerintahnya. Mereka diberi ponten merah. Kalau sudah begitu, badan statistiknya pasti malu. Tapi yang lebih malu adalah pemerintahnya.
Ada sanksi?
Tidak ada sanksi khusus. Tapi bayangkan, ketika satu angka dipertanyakan, angka lain akan dipertanyakan juga. Artinya seluruh dokumen negaranya dipertanyakan. Karena itu, kepada Pak Presiden ataupun semua menteri, kalau angkanya jelek, misalnya defisit, ya, saya bilang defisit. Jadi kalau ada angka yang melukai, sorry, itu bukan personal. Saya tahu persis posisi BPS, yang boleh dibilang tidak enak. Kalau angkanya tidak bagus, pasti ada menteri yang kena. Tapi saya mengikuti pesan Pak Presiden agar BPS obyektif dan jujur, sepahit apa pun itu.
Ada yang menyebut data BPS sebagai upaya membedaki pemerintah. Pembelaan Anda?
Ya, karena mau pemilihan umum. Tapi, saat angka kemiskinan naik, kenapa tidak pada protes? Atau sekarang, saat pertumbuhan ekonomi hanya 5,06 persen, di bawah target 5,2 persen, kenapa kami tidak diprotes? Kenapa protes hanya kalau angkanya bagus? Jadi saya sudah terbiasa.
Ada yang mengkritik BPS mencatat Premium, yang harganya stabil, sebagai bahan bakar yang dipakai sebagai perhitungan, sehingga inflasi terkendali. Padahal masyarakat sudah beralih ke bensin nonsubsidi….
Tidak. Yang jadi perhitungan sudah bergeser ke BBM nonsubsidi. Setiap enam bulan kami rutin memperbaiki bobot inflasi. Terakhir pada Desember 2017.
Kenaikan harga bensin nonsubsidi berdampak pada inflasi?
Betul. Dampaknya juga tinggi. Bobot bensin terhadap inflasi sekitar 3,4 persen. Di bawah beras, 3,8 persen; di atas rokok, 2 persen. Kenaikan bulan ini akan tercatat mulai Agustus nanti.
Bagaimana BPS menghitung angka kemiskinan?
Kami mengacu pada petunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menggunakan metode basic needs approach atau konsep kebutuhan dasar. Intinya, kami mendatangi 300 ribu rumah tangga dan menanyakan pengeluaran, dari beras, minyak, rokok, obat, listrik, hingga sewa rumah. Idealnya adalah menanyakan pendapatan. Tapi, di negara mana pun, susah memperoleh data pendapatan karena orang cenderung segan. Dengan asumsi pengeluaran sama dengan pendapatan, dari situ kami mendapatkan angka pendapatan. Lalu kami pilah-pilah komoditasnya menjadi makanan dan nonmakanan untuk mendapatkan garis kemiskinan. Saat ini, garis kemiskinan sekitar Rp 401 ribu per kapita per bulan. Gampangnya: pengeluaran Rp 400 ribu ke bawah miskin, di atas Rp 402 ribu tidak miskin.
Jadi pengeluaran penduduk miskin hanya Rp 13 ribu per hari?
Ini yang orang suka keliru. Uang Rp 401 ribu dibagi 30, jadi sekitar Rp 13 ribu per hari, mana cukup? Bukan begitu. Rata-rata jumlah anggota dalam satu rumah tangga miskin di Indonesia adalah 4,6 orang. Artinya pengeluaran per keluarga adalah Rp 1,84 juta per bulan. Di DKI Jakarta, dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 5,2 orang, pengeluarannya Rp 3.081.000 per bulan. Tidak jauh dari upah minimum provinsi, Rp 3,6 juta.
Mungkinkah pengeluaran selalu sama dengan pendapatan?
Golongan menengah ke atas pasti tidak berpikir demikian karena ada saving. Tapi, untuk orang-orang di bawah, pengeluaran sama dengan pendapatan. Hampir semua negara menggunakan asumsi itu. Kita bisa melacak jumlah bantuan pemerintah yang diperoleh sebuah keluarga dan itu dianggap sebagai pendapatan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan 69 juta penduduk rentan miskin. Tidak sinkron dengan data BPS....
Sama. Ada kategori near poor dengan pengeluaran 20 persen di atas garis kemiskinan, yaitu Rp 480.200 per bulan. Jumlahnya sekitar 52 juta. Ditambah kategori miskin, 25,95 juta, jumlahnya hampir sama. Keluarga yang tidak jauh dari garis kemiskinan ini rentan. Kalau ada gejolak, misalnya kenaikan harga beras, bahan bakar, resesi ekonomi, akan jatuh miskin. Maka pemerintah jangan hanya membuat kebijakan untuk yang di bawah angka kemiskinan.
Kategori rentan miskin belum tersentuh?
Sudah. Beras sejahtera mencakup 15,5 juta rumah tangga. Kalau satu keluarga dihitung empat orang saja, berarti ada 65 juta orang. Kalau near poor tidak diperhatikan, bisa guncang.
Ada ekonom yang mengkritik pengendalian kemiskinan lebih didorong oleh faktor konsumtif, bukan produksi. Anda sepakat?
Betul. Untuk jangka pendek memang itu yang bisa kita tempuh. Tapi enggak mungkin terus-menerus diberi sumbangan. Dalam jangka panjang, kita harus mampu memberdayakan masyarakat bawah. Skema menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan di semua negara hampir sama. Pilar pertama, pertumbuhan ekonomi yang, bukan hanya tinggi, tapi juga berkualitas. Misalnya yang didorong pertanian dan manufaktur, yang menyerap banyak tenaga kerja. Pilar kedua, social inclusion, supaya semua penduduk, terutama yang miskin, mempunyai akses yang sama ke pendidikan dan kesehatan. Karakteristik penduduk miskin selalu berpendidikan rendah, enggak sehat, hidup di lingkungan dengan sanitasi buruk. Kalau tidak diberi kesempatan pendidikan, kapan mereka mandiri? Tapi, untuk sampai ke sana, jalannya panjang. Butuh waktu.
Kenaikan koefisien Gini perdesaan dari 0,320 ke 0,324 menjadi perhatian pemerintah?
Pak Jokowi concern banget kenapa Gini ratio di perdesaan naik. Ini warning besar dari BPS. Kalau sampai ketimpangan melebar, tidak dijaga, di negara mana pun akan menimbulkan friksi sosial. Ketika tidak ada katupnya, bisa meledak.
Apa yang akan Anda sampaikan kepada Presiden Jokowi soal profil kemiskinan terbaru?
Nanti, di sidang kabinet, saya sampaikan sama dengan yang diterima media. Saya tidak pernah bilang berbeda di depan presiden, menteri, dan media. Bagi BPS, yang manis dibilang manis, yang pahit dibilang pahit. Angka 9,82 persen itu kan rata-rata Indonesia. Melihat per provinsi, jomplang tinggi sekali. Angka kemiskinan DKI Jakarta hanya 3,57 persen, tapi di Papua mencapai 27,74 persen. Itu persoalan. Kita mau konsentrasi ke timur atau upaya disebarkan ke semua daerah. Ada juga masalah yang belum terpecahkan, yaitu selisih angka kemiskinan antara kota dan desa. Di kota 7 persen, desa 13 persen. Sebanyak 49 persen penduduk miskin berada di sektor pertanian. Seharusnya perhatian lebih diberikan kepada petani. Upah buruh tani memang naik, tapi tipis sekali, tidak mampu mengkompensasi inflasi, sehingga daya beli mereka turun. Jadi penurunan angka kemiskinan memang pencapaian bagus, tapi pekerjaan rumah kita masih besar. Permasalahan ketiga, pada Maret harga beras naik agak tinggi, 8,5 persen. Ini harus dijaga karena peranan beras terhadap konsumsi masyarakat besar sekali. Berperan 26 persen terhadap garis kemiskinan. Harga beras goyang, habis kita.
Presiden Jokowi sering meminta masukan BPS?
Saya sering dimintai masukan oleh Presiden. Kalau diminta, saya jawab. Kalau tidak diminta, posisi saya tidak pada merancang kebijakan. Posisi saya hanya menunjukkan. Misalnya angka kemiskinan turun tapi masih ada disparitas yang tinggi antara Papua dan Jawa. Jadi kita memerlukan keberpihakan ke timur. Kami juga suka berdiskusi dengan para ekonom.
Seberapa sering Anda bertemu dengan Jokowi?
Kalau pertemuan secara personal, jarang. Tapi saya selalu hadir di sidang kabinet. Biasanya Pak Presiden meminta konfirmasi mengenai angka. Saya lebih banyak mendengarkan paparan Pak Presiden atau menteri mengenai arah kebijakannya. Kalau ada data yang belum ada, saya akan mempersiapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar