Kepala Badan Pusat Statistik Suhariyanto: Tidak Main-main dengan Angka
Sabtu, 21 Juli 2018 19:58 WIB
UNTUK pertama kalinya dalam sejarah, angka kemiskinan di Indonesia menyentuh satu digit. Senin pekan lalu, Badan Pusat Statistik mengumumkan jumlah penduduk miskin di Indonesia 9,82 persen atau 25,95 juta orang. Angka itu merupakan hasil survei pada Maret lalu. Berdasarkan survei terbaru itu, angka kemiskinan turun dari 10,12 persen atau 26,58 juta jiwa pada September tahun lalu.
Penyebabnya, selama September 2017 hingga Maret lalu, tingkat inflasi 1,92 persen; rata-rata pengeluaran per kapita per bulan rumah tangga 40 persen lapisan terbawah tumbuh 3,06 persen; bantuan sosial pemerintah triwulan pertama tumbuh 87,6 persen, dibanding triwulan pertama 2017 yang hanya tumbuh 3,39 persen; serta program beras sejahtera dan bantuan pangan nontunai triwulan pertama tepat jadwal.
Namun kabar baik ini malah menuai kritik. BPS dianggap menggunakan standar yang terlalu lunak dalam menentukan garis kemiskinan. Ada pula yang bilang angka kemiskinan terdongkrak bantuan sosial dari pemerintah yang ingin mendapat citra positif menjelang pemilihan legislatif dan pemilihan presiden 2019.
Kepala BPS Suhariyanto membantah anggapan bahwa data yang ia sajikan bersifat politis. "Bagi BPS, yang manis dibilang manis, yang pahit dibilang pahit," kata doktor ekonomi pertanian dari University of Reading, Inggris, ini dalam wawancara khusus dengan Tempo di kantornya di Jakarta Pusat, Rabu pekan lalu.
Kepada wartawan Tempo M. Taufiqurohman, Reza Maulana, Angelina Anjar, dan Nur Alfiyah yang menemuinya, Suhariyanto mengatakan banyak kepahitan yang terselip dalam temuan terbaru BPS. Misalnya rentannya posisi masyarakat nonmiskin yang berada di ambang garis kemiskinan dan meningkatnya koefisien Gini di perdesaan. Koefisien Gini (Gini ratio) adalah indikator yang menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan, dengan besaran 0 untuk pemerataan sempurna dan 1 untuk ketimpangan absolut. "Ini warning besar," ujar pria asal Blitar, Jawa Timur, yang akrab disapa Kecuk itu.
Apa dasar Anda menyebutkan 9,82 persen sebagai angka kemiskinan terendah Indonesia sepanjang sejarah?
Karena baru sekarang kita masuk satu digit. BPS mengukur kemiskinan sejak 1988, tapi waktu itu cuma tiga tahun sekali. Ketika terjadi krisis ekonomi, BPS menyempurnakan metodologinya. Jadi, kalau kita lacak sampai sekarang, ini terendah. Pada 1999, angka kemiskinan masih 23,43 persen, sekitar 47,97 juta orang. Itu yang paling tinggi. Sejak itu, trennya turun terus, kecuali pada 2006, penduduk miskin sempat naik 4,5 juta akibat kenaikan harga bahan bakar minyak.
Faktor apa yang paling berpengaruh?
Pencairan bantuan sosial. Realisasi distribusi bantuan sosial program beras sejahtera (rastra) pada Januari lalu sebesar 99,65 persen, Februari 99,66 persen, dan Maret 99,62 persen. Jauh lebih bagus dibanding pada triwulan pertama 2017. Tahun lalu, Pak Presiden agak keras terhadap menteri-menterinya karena data BPS menunjukkan bahwa rastra tidak turun.
Angka kemiskinan saat itu naik?
Pada Maret 2017, turun 0,06 persen. Tapi jumlah penduduk miskin naik dari 27,76 juta menjadi 27,77 juta. Jadi, ketika BPS merilis itu pada Juli 2017, Pak Presiden bertanya, "Kok, stagnan, ya? Ada masalah apa, sih?" Saya sampaikan masalah ini karena rastra tidak turun pada Januari, Februari, dan Maret. Karena merasa tidak mendapat laporan, beliau agak keras dalam sidang kabinet.
Presiden Joko Widodo menegur BPS dalam sidang itu?
Sama sekali tidak. Saya tidak merasa ditegur karena saya merasa tidak salah. Warning itu justru ditujukan ke menteri-menteri.
Berita yang beredar menyebutkan Presiden meminta survei BPS disesuaikan dengan pembagian rastra....
Sebenarnya tidak begitu. Karena rastra tidak turun, beliau mengingatkan seluruh bantuan sosial harus didistribusikan secara merata sejak Januari. BPS melakukan survei setiap Maret dan September. Beliau hanya mengingatkan. Tidak bilang, misalnya, "Karena survei BPS Maret, jadi bantuan nggrojog di Maret." Belajar dari itu, tahun ini jadi lebih bagus.
Artinya waktu pemberian bantuan diselaraskan dengan survei BPS?
Kami melakukan survei di 82 kota, pemerintah pasti tahu. Tapi mereka tidak tahu di masyarakat mana dan kapan BPS datang. Katakanlah mereka menyalurkan bantuan Senin, kami datang Kamis, kan, sudah beda harganya.
Jika rastra dibagikan sebelum survei, parameter apa saja yang membaik?
Hanya pengeluaran untuk beras. Lainnya tidak terpengaruh. Karena itu, tidak bisa diakali. Untuk angka kemiskinan, kami melakukan survei di 300 ribu rumah tangga secara acak. Peta lokasi hanya BPS yang tahu. Menteri juga tidak akan saya kasih tahu. Kami pun tidak bisa mengubah survei seenaknya.
Mengapa?
Pertama, kami tidak sendiri saat merancang metodologi. Kami melibatkan semua stakeholder, termasuk para ekonom. Kedua, saya tidak akan main-main dengan angka. Taruhannya terlalu besar, reputasi. Kami itu dicek. Pertama, oleh Forum Masyarakat Statistik, yang terdiri atas guru besar berbagai universitas. Kalau ada yang krusial, saya akan dipanggil dan diinvestigasi. Kedua, oleh Dana Moneter Internasional dan PBB, dua kali dalam setahun. Mereka memberikan penilaian apakah data kami valid. Kalau ditemukan sesuatu yang tidak valid, mereka akan lapor ke Komisi Statistik PBB dan diumumkan. Seperti inflasi Argentina yang diduga diintervensi pemerintahnya. Mereka diberi ponten merah. Kalau sudah begitu, badan statistiknya pasti malu. Tapi yang lebih malu adalah pemerintahnya.
Ada sanksi?
Tidak ada sanksi khusus. Tapi bayangkan, ketika satu angka dipertanyakan, angka lain akan dipertanyakan juga. Artinya seluruh dokumen negaranya dipertanyakan. Karena itu, kepada Pak Presiden ataupun semua menteri, kalau angkanya jelek, misalnya defisit, ya, saya bilang defisit. Jadi kalau ada angka yang melukai, sorry, itu bukan personal. Saya tahu persis posisi BPS, yang boleh dibilang tidak enak. Kalau angkanya tidak bagus, pasti ada menteri yang kena. Tapi saya mengikuti pesan Pak Presiden agar BPS obyektif dan jujur, sepahit apa pun itu.
Ada yang menyebut data BPS sebagai upaya membedaki pemerintah. Pembelaan Anda?
Ya, karena mau pemilihan umum. Tapi, saat angka kemiskinan naik, kenapa tidak pada protes? Atau sekarang, saat pertumbuhan ekonomi hanya 5,06 persen, di bawah target 5,2 persen, kenapa kami tidak diprotes? Kenapa protes hanya kalau angkanya bagus? Jadi saya sudah terbiasa.
Ada yang mengkritik BPS mencatat Premium, yang harganya stabil, sebagai bahan bakar yang dipakai sebagai perhitungan, sehingga inflasi terkendali. Padahal masyarakat sudah beralih ke bensin nonsubsidi….
Tidak. Yang jadi perhitungan sudah bergeser ke BBM nonsubsidi. Setiap enam bulan kami rutin memperbaiki bobot inflasi. Terakhir pada Desember 2017.
Kenaikan harga bensin nonsubsidi berdampak pada inflasi?
Betul. Dampaknya juga tinggi. Bobot bensin terhadap inflasi sekitar 3,4 persen. Di bawah beras, 3,8 persen; di atas rokok, 2 persen. Kenaikan bulan ini akan tercatat mulai Agustus nanti.
Bagaimana BPS menghitung angka kemiskinan?
Kami mengacu pada petunjuk Perserikatan Bangsa-Bangsa, menggunakan metode basic needs approach atau konsep kebutuhan dasar. Intinya, kami mendatangi 300 ribu rumah tangga dan menanyakan pengeluaran, dari beras, minyak, rokok, obat, listrik, hingga sewa rumah. Idealnya adalah menanyakan pendapatan. Tapi, di negara mana pun, susah memperoleh data pendapatan karena orang cenderung segan. Dengan asumsi pengeluaran sama dengan pendapatan, dari situ kami mendapatkan angka pendapatan. Lalu kami pilah-pilah komoditasnya menjadi makanan dan nonmakanan untuk mendapatkan garis kemiskinan. Saat ini, garis kemiskinan sekitar Rp 401 ribu per kapita per bulan. Gampangnya: pengeluaran Rp 400 ribu ke bawah miskin, di atas Rp 402 ribu tidak miskin.
Jadi pengeluaran penduduk miskin hanya Rp 13 ribu per hari?
Ini yang orang suka keliru. Uang Rp 401 ribu dibagi 30, jadi sekitar Rp 13 ribu per hari, mana cukup? Bukan begitu. Rata-rata jumlah anggota dalam satu rumah tangga miskin di Indonesia adalah 4,6 orang. Artinya pengeluaran per keluarga adalah Rp 1,84 juta per bulan. Di DKI Jakarta, dengan rata-rata jumlah anggota keluarga 5,2 orang, pengeluarannya Rp 3.081.000 per bulan. Tidak jauh dari upah minimum provinsi, Rp 3,6 juta.
Mungkinkah pengeluaran selalu sama dengan pendapatan?
Golongan menengah ke atas pasti tidak berpikir demikian karena ada saving. Tapi, untuk orang-orang di bawah, pengeluaran sama dengan pendapatan. Hampir semua negara menggunakan asumsi itu. Kita bisa melacak jumlah bantuan pemerintah yang diperoleh sebuah keluarga dan itu dianggap sebagai pendapatan.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan 69 juta penduduk rentan miskin. Tidak sinkron dengan data BPS....
Sama. Ada kategori near poor dengan pengeluaran 20 persen di atas garis kemiskinan, yaitu Rp 480.200 per bulan. Jumlahnya sekitar 52 juta. Ditambah kategori miskin, 25,95 juta, jumlahnya hampir sama. Keluarga yang tidak jauh dari garis kemiskinan ini rentan. Kalau ada gejolak, misalnya kenaikan harga beras, bahan bakar, resesi ekonomi, akan jatuh miskin. Maka pemerintah jangan hanya membuat kebijakan untuk yang di bawah angka kemiskinan.
Kategori rentan miskin belum tersentuh?
Sudah. Beras sejahtera mencakup 15,5 juta rumah tangga. Kalau satu keluarga dihitung empat orang saja, berarti ada 65 juta orang. Kalau near poor tidak diperhatikan, bisa guncang.
Ada ekonom yang mengkritik pengendalian kemiskinan lebih didorong oleh faktor konsumtif, bukan produksi. Anda sepakat?
Betul. Untuk jangka pendek memang itu yang bisa kita tempuh. Tapi enggak mungkin terus-menerus diberi sumbangan. Dalam jangka panjang, kita harus mampu memberdayakan masyarakat bawah. Skema menurunkan tingkat kemiskinan dan ketimpangan di semua negara hampir sama. Pilar pertama, pertumbuhan ekonomi yang, bukan hanya tinggi, tapi juga berkualitas. Misalnya yang didorong pertanian dan manufaktur, yang menyerap banyak tenaga kerja. Pilar kedua, social inclusion, supaya semua penduduk, terutama yang miskin, mempunyai akses yang sama ke pendidikan dan kesehatan. Karakteristik penduduk miskin selalu berpendidikan rendah, enggak sehat, hidup di lingkungan dengan sanitasi buruk. Kalau tidak diberi kesempatan pendidikan, kapan mereka mandiri? Tapi, untuk sampai ke sana, jalannya panjang. Butuh waktu.
Kenaikan koefisien Gini perdesaan dari 0,320 ke 0,324 menjadi perhatian pemerintah?
Pak Jokowi concern banget kenapa Gini ratio di perdesaan naik. Ini warning besar dari BPS. Kalau sampai ketimpangan melebar, tidak dijaga, di negara mana pun akan menimbulkan friksi sosial. Ketika tidak ada katupnya, bisa meledak.
Apa yang akan Anda sampaikan kepada Presiden Jokowi soal profil kemiskinan terbaru?
Nanti, di sidang kabinet, saya sampaikan sama dengan yang diterima media. Saya tidak pernah bilang berbeda di depan presiden, menteri, dan media. Bagi BPS, yang manis dibilang manis, yang pahit dibilang pahit. Angka 9,82 persen itu kan rata-rata Indonesia. Melihat per provinsi, jomplang tinggi sekali. Angka kemiskinan DKI Jakarta hanya 3,57 persen, tapi di Papua mencapai 27,74 persen. Itu persoalan. Kita mau konsentrasi ke timur atau upaya disebarkan ke semua daerah. Ada juga masalah yang belum terpecahkan, yaitu selisih angka kemiskinan antara kota dan desa. Di kota 7 persen, desa 13 persen. Sebanyak 49 persen penduduk miskin berada di sektor pertanian. Seharusnya perhatian lebih diberikan kepada petani. Upah buruh tani memang naik, tapi tipis sekali, tidak mampu mengkompensasi inflasi, sehingga daya beli mereka turun. Jadi penurunan angka kemiskinan memang pencapaian bagus, tapi pekerjaan rumah kita masih besar. Permasalahan ketiga, pada Maret harga beras naik agak tinggi, 8,5 persen. Ini harus dijaga karena peranan beras terhadap konsumsi masyarakat besar sekali. Berperan 26 persen terhadap garis kemiskinan. Harga beras goyang, habis kita.
Presiden Jokowi sering meminta masukan BPS?
Saya sering dimintai masukan oleh Presiden. Kalau diminta, saya jawab. Kalau tidak diminta, posisi saya tidak pada merancang kebijakan. Posisi saya hanya menunjukkan. Misalnya angka kemiskinan turun tapi masih ada disparitas yang tinggi antara Papua dan Jawa. Jadi kita memerlukan keberpihakan ke timur. Kami juga suka berdiskusi dengan para ekonom.
Seberapa sering Anda bertemu dengan Jokowi?
Kalau pertemuan secara personal, jarang. Tapi saya selalu hadir di sidang kabinet. Biasanya Pak Presiden meminta konfirmasi mengenai angka. Saya lebih banyak mendengarkan paparan Pak Presiden atau menteri mengenai arah kebijakannya. Kalau ada data yang belum ada, saya akan mempersiapkan.
Catatan
Khairunnas Anfa'uhum linnas
Senin, 23 Juli 2018
Rabu, 15 Maret 2017
Pertumbuhan Ekonomi dan Konvergensi Pendapatan
I.
Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi merupakan tujuan dasar
yang ingin dicapai dalam perekonomian. Pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses
kenaikan pendapatan total dan pendapatan perkapita dengan memperhitungkan
adanya pertambahan penduduk dan disertai dengan perubahan fundamental dalam
struktur ekonomi suatu negara dan pemerataan pendapatan bagi penduduk suatu
negara. Pertumbuhan ekonomi yang tidak merata menghasilkan ketimpangan antar
daerah.
Beberapa upaya untuk mengatasi ketimpangan
pertumbuhan ekonomi antara lain dengan otonomi daerah dan pembangunan
infrastruktur tol laut. Sistem sentralistik ke desentralisasi yang didasarkan
bahwa pembangunan nasional berdasarkan karakteristik yang dimiliki oleh tiap-tiap
daerah. Sementara, tol laut merupakan upaya negara mewujudkan kesejahteraan,
dengan membangun sisten logistik yang melayani tanpa henti dari sabang sampai
marauke sehingga akan menekan disparitas harga antar pulau (Bappenas, 2015).
Beberapa upaya tersebut memberikan peluang kepada daerah yang relatif masih tertinggal
untuk berdiri sejajar dengan daerah maju melalui peningkatan pendapatan
regional per kapita dan peningkatan indeks pembangunan Manusia. Semakin tinggi
pertumbuhan ekonomi maka semakin banyak pendapatan perkapita yang dapat dibagi
untuk kesejahteraan masyakatnya.
Pensejajarkan diri dengan daerah maju yang
dilakukan oleh daerah miskin dikenal dengan istilah konvergensi. Saat
pertumbuhan ekonomi di daerah miskin berjalan sangat cepat, bahkan lebih cepat
dari negara kaya, maka bukan tidak mungkin suatu saat pendapatan per kapita
yang diperoleh daerah miskin akan menyamai daerah kaya (Barro dan Sala I
Martin, 1991). teori pertumbuhan neoklasik model solow-swan menjelaskan tingkat
kemakmuran yang sudah maju dengan yang dialami negara-negara berkembang suatu
saat akan konvergen (Taringan, 2015:53).
Tulisan ini bertujuan menjelaskan hubungan
pertumbuhan ekonomi dan konvergensi pendapatan melalui studi literatur dari
beberapa penelitian ilmiah. Beberapa penelitian ilmiah tersebut akan diulas dan
selanjutnya akan di tarik kesimpulan dari hasil penemuannya. Tulisan ini akan
memberikan manfaat dalam menambah literasi dalam penulisan pertumbuhan ekonomi
dan konvergensi pendapatan pada penelitian empiris selanjutnya.
II.
Tinjauan Pustaka
2.1
Konsep Konvergensi
Konsep konvergensi merupakan
implikasi dari teori pertumbuhan yang dikembangkan pada dekade 1950-an. Pada
beberapa artikel antara lain, Solow (1956) diungkapkan bahwa selain akumulasi
kapital dan tenaga kerja, terdapat faktor ketiga yang menjadi determinan
pertumbuhan ekonomi yaitu perubahan teknologi, yang diperlakukan sebagai faktor
eksogen di luar kedua faktor produksi di atas. Teori ini mendasarkan diri pada
teori fungsi produksi neoklasik yang memiliki karakteristik diminishing
marginal return dan constant
return to scale. Diminishing
return ini menunjukkan hubungan antara output
per worker dan capital
per worker. Sebagai ilustrasi, negara yang
dapat meningkatkan capital-labor ratio (k) akan
memiliki output per worker (y) yang
lebih tinggi, namun demikian akumulasi kapital terkendala dengan adanya diminishing
return. Ini artinya pada tingkat k
tertentu, dampak (k) pada
(y) akan lebih besar pada kasus negara
yang memiliki kapital terbatas (scarce)
dibandingkan pada negara yang memiliki kapital relatif banyak (abundant).
Kemiringan fungsi produksi sendiri mengukur marginal
product of capital (MPK = f (k + 1) – f(k)) di negara
berkembang akan lebih besar dibandingkan di negara maju.
Pertumbuhan Solow di atas dapat
diperoleh beberapa poin penting sebagai berikut: (1) perekonomian dalam jangka
panjang akan mendekati steady state equilibrium,
(2) steady state equilibrium tergantung
pada tingkat depresiasi, pertumbuhan penduduk, dan tabungan, (3) tanpa ada
peningkatan teknologi pertumbuhan output per worker tidak
berkelanjutan, (4) peningkatan saving rate pada
pertumbuhan output per worker bersifat
temporer, dan (5) jika beberapa negara memiliki struktur yang mirip dalam
konteks preferensi dan teknologi, maka negara berkembang akan tumbuh lebih
cepat dari negara maju sehingga dapat terjadi konvergensi.
Dua
konsep konvergensi yang ada dalam analisis pertumbuhan ekonomi antar negara
atau antar daerah adalah Beta Konvergensi dan Sigma Konvergensi (Barro dan
Sala-i-Martin, 1991). Pertama, Konsep konvergensi beta adalah pertumbuhan
ekonomi negara atau daerah miskin yang lebih cepat dari pertumbuhan ekonomi
negara atau daerah kaya, sehingga negara atau daerah miskin cenderung mengejar
ketertinggalannya dari daerah kaya. Kedua, konvergensi sigma yaitu terjadinya
penurunan disparitas pendapatan perkapita lintas sektoral dari waktu ke waktu.
Artinya bahwa konvergensi terjadi jika dispersi, diukur dengan standar deviasi,
logaritma pendapatan perkapita antar negara atau daerah menurun dari waktu ke
waktu. Jika dispersi pendapatan mengalami penurunan, maka dapat dikatakan bahwa
ketimpangan antar daerah cenderung mengecil atau telah terjadi konvergensi
pendapatan. Konvergensi beta cenderung menghasilkan konvergensi sigma, tetapi
proses ini diimbangi oleh faktor pengganggu yang cenderung meningkatkan
disparitas.
2.2
Penelitian Penelitian
Sebelumnya.
2.2.1 Penelitian
Naomi N. Griffin dan Kazuhiko Odaki (2009)
Penelitian ini dengan menggunakan
data pada perusahaan manufaktur besar antara tahun 1969 sampai dengan 1996,
mencoba menguraikan faktor dibalik perlambatan pertumbuhan produktifivitas
selama tahun 1990-an. Hasil utama menunjukkan bahwa ada penurunan yang
siginifikan dalam produktivitas dalam perusahaan. Penelitian ini menemukan bahwa mis-alokasi
antara perusahaan semakin besar dan merupakan hambatan besar untuk pertumbuhan
TFP. Kebijakan yang meningkatkan inovasi teknologi, pengembangan riset dan
adopsi teknologi yang cepat menjadi sangat penting dalam meningkatkan
pertumbuhan ekonomi.
2.2.2 Penelitian
Frederic Carluer dan Guillaume Gaulie (2005)
Penelitian ini menjelaskan
heterogeneities produktivitas tenaga kerja daerah Perancis di tingkat agregat
dan sektoral. Penelitian ini memperluas karya Baumol dan Barro dan Salai-
Martin, pertama dengan menunjukkan sumber-sumber pertumbuhan terkait dengan
teori-teori pertumbuhan baru dan kedua dengan menekankan dampak dari realokasi
tenaga kerja lintas sektoral melalui pergeseran analisis-share. Hasil kami
menunjukkan pentingnya asimetri regional dan peran penting yang dimainkan oleh
dinamika komposisi sektoral dalam konvergensi produktivitas tenaga kerja di
Perancis.
2.2.3 Penelitian El Hadj M Bah dan Josef C Brada (2009)
Penelitian ini memperkirakan pertumbuhan total factor productivity(TFP) dalam bidang pertanian, industri dan jasa di negara-negara baru anggota Uni Eropa dan menunjukkan bagaimana struktur perubahan kontribusi untuk pertumbuhan. Penelitian ini mengembangkan model yang memperkirakan TFP sektoral dari data ketenagakerjaan sektoral dan GDP per kapita. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa dibandingkan dengan Austria, anggota baru Uni Eropa memiliki tingkat TFP yang lebih rendah, namun pertumbuhan TFP mereka sebagian besar lebih tinggi. Gerakan lintas sektoral tenaga kerja tidak memainkan peran besar dalam pertumbuhan TFP agregat, dan akumulasi modal merupakan komponen penting dari konvergensi ke tingkat Uni Eropa dari PDB per kapita.
2.2.4 Penelitian
Jesus Felipe, Miguel Leon-Ledesma, Matteo Lanzafame, dan Gemma Estrada (2009)
Penelitian ini menyediahkan analisis
pertumbuhan ekonomi pada negara-negara berkembang Asia dari sudut pandang
tranformasi struktural selama 3 dekade. Hal yang paling menonjol dari
tranformasi tersebut adalah penurunan signifikan kontribusi sektor pertanian
dan peningkatan kontribusi dari sektor jasa. Penelitian ini menggunakan
kerangka kerja penelitian dari Kaldor, dimana penelitian ini mendiskusikan
apakah industri memainkan peran sebagai mesin utama dalam pertumbuhan
negara-negara berkembang di Asia. Hasil Penelitian menunjukkan bahwa, sektor
industri dan Jasa memainkan peran dalam pertumbuhan ekonomi. Hasil yang
selanjutnya bahwa adanya endogenous, pertumbuhan diinduksi teknologi
2.2.5 Penelitian
Robert J Barro, dan Xavier Sala-i-Martin (1992)
Penelitian ini meneliti isu kunci
ekonomi apakah negara miskin cenderung tumbuh lebih cepat dari pada negara kaya
dan konvergensi pada level pendapatan perkapita dan produk. Peneliti ini
menggunakan kerangka model pertumbuhan neoklasik. Konvergensi
dapat dihitung berdasarkan dua konsep yaitu konvergensi sigma (sigma
convergence) dan konvergensi beta (beta
convergence). Konvergensi akan terjadi apabila negara
atau daerah miskin dengan pendapatan yang rendah akan tumbuh lebih cepat
dibandingkan dengan negara atau daerah kaya dengan pendapatan yang tinggi
sehingga dalam jangka panjang semua negara-negara akan mencapai tingkat
konvergensi yang sama. Hal tersebut didasarkan fakta bahwa perekonomian suatu
wilayah mengarah kepada kondisi steady state,
apabila wilayah atau daerah sudah dalam kondisi steady
state maka tingkat perekonomian akan berjalan melambat.
2.2.6 Penelitian
Alassane Drabo (2010)
Tujuan utama dari makalah ini adalah analisis keterkaitan antara kesehatan, pendapatan dan kualitas lingkungan dan konsekuensi pada proses konvergensi ekonomi. Penelitian ini memperkenalkan variabel lingkungan dalam model pertumbuhan dan peneliti mengamati efeknya pada pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa degradasi lingkungan berpengaruh negatif pada aktivitas ekonomi dan ketika menetralisir dampak lingkungan, kecepatan konvergensi cenderung meningkat sedikit. Ini memperkuat argumen teoritis peneliti sesuai dengan yang peningkatan kualitas lingkungan memainkan peran yang cukup besar dalam proses konvergensi ekonomi.
2.2.7 Penelitian
Fang Yang, Shiying, and Xin Yao (2016)
Berdasarkan teori konvergensi pertumbuhan
ekonomi, makalah ini menggunakan konsep indeks pembangunan manusia dan
melakukan analisis empiris pembangunan daerah di Cina tahun 1997-2006.
Penelitian menunjukkan bahwa konvergensi kondisional telah diidentifikasi.
Investasi dalam aktiva tetap, pengeluaran pemerintah untuk pendidikan,
kesehatan dan pembangunan infrastruktur memiliki efek positif pada konvergensi
regional pembangunan.
2.2.8 Penelitian
Sorin Grigoras (2015)
Meningkatkan standar hidup rakyat adalah salah satu tujuan utama dari setiap sistem ekonomi. Saat ini ekonomi berdasarkan kepemilikan pribadi, berlaku di seluruh dunia, namun sektor publik menjadi lebih berpengaruh karena kelangkaan sumber daya publik. Peningkatan pengeluaran pemerintah, cara pembagian dan korelasi pembangunan ekonomi mampu membuat perbedaan antara negara-negara yang memiliki karakteristik serupa dan potensi. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi relevansi antara belanja pemerintah dan kinerja ekonomi, oleh negara maju dan berkembang. Hal ini tergantung pada beberapa variabel seperti kendala anggaran atau sifat beban masyarakat. Penelitian ini untuk memeriksa konvergensi dalam hal kecepatan, waktu dan kontribusi sektor publik, untuk menguraikan beberapa harapan masa depan yang realistis mengenai perbaikan kondisi ekonomi secara keseluruhan. Penelitian ini menghasilkan temuan bahwa antara belanja pemerintah dan kinerja ekonomi mempunyai hubungan berbanding lurus, elastisitas unitari, dan korelasi yang kuat.
Oleh sebab itu, untuk mengurangi kesenjangan dan mencapai konvergensi melibatkan pengambilan keputusan (pemerintah) yang kompeten. Hal ini dimaksudkan untuk bertindak terhadap penghapusan sektor publik yang tidak efisien dan membuat lebih efisien dengan memindahkan ke sektor swasta, mendorong pengembangan sektor swasta, difokuskan pada peningkatan investasi, lokal dan asing pada jangka panjang, memastikan keseimbangan antara masing-masing sektor kegiatan ekonomi, mendorong proses-proses operasional yang menciptakan nilai, serta memastikan bahwa kerangka hukum dalam kegiatan ekonomi.
2.2.9 Alejandro Diaz-Bautista (2000)
Penelitian ini meneliti pertumbuhan ekonomi pada fenomena konvergensi kondisional atau kecenderungan ekonomi regional dengan pendapatan tingkat yang lebih rendah untuk tumbuh lebih cepat, tergantung pada tingkat akumulasi faktor. Penelitian ini menggunakan teori pertumbuhan neoklasik standar, untuk mendapatkan pendekatan empiris hipotesis konvergensi dalam modal manusia. Penelitian ini menggunakan 31 negara bagian dan District Federal di Meksiko, dan menggunakan indeks pendidikan. Studi ini menemukan bahwa tingkat tahunan konvergensi modal manusia per kapita di Meksiko berkisar dari 3,55% menjadi 4,58%. Hal ini juga berarti konvergensi pendapatan per kapita tergantung pada variabel modal manusia.
2.2.10 Bayu Kharisma and Samsubar Saleh (2013)
Makalah ini bertujuan untuk menganalisis dispersi pendapatan dan menguji konvergensi absolut dan konvergensi kondisional dari pendapatan di antara 26 provinsi di Indonesia selama 1984- 2008 dengan menggunakan pendekatan data panel statis dan dinamis. Menggunakan analisis konvergensi σ menunjukkan bahwa dispersi pendapatan diukur dengan koefisien variasi terjadi di 1984 2008, fluktuasi umumnya dialami. Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat dispersi pendapatan adalah dampak dari krisis ekonomi, periode desentralisasi fiskal di Indonesia, dampak bom Bali, dampak kenaikan harga BBM pada bulan Oktober 2005 dan gempa bumi di Jogjakarta dan Jawa Tengah. Dinamis estimasi data panel dengan sistem GMM menghasilkan estimator yang efisien dan konsisten untuk mengatasi masalah validitas instrument. Selain itu, juga didedikasikan untuk meminimalkan risiko bias karena masalah endogeneity. Penelitian ini menunjukkan ada indikasi kuat adanya konvergensi absolut dan konvergensi kondisional antara 26 provinsi di Indonesia selama 1984 tahun 2008. Dengan demikian, membuktikan bahwa perekonomian provinsi miskin cenderung tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan provinsi-provinsi yang lebih sejahtera, dan kemajuan ini berarti bahwa ada kecenderungan untuk mengejar ketinggalan. Berdasarkan estimasi sistem GMM, ditemukan bahwa provinsi di Jawa memiliki kecepatan lebih cepat dari konvergensi relatif dengan yang di luar Jawa.
2.2.11
Penelitian
Margaret McMillan dan Derek Haedey (2014)
Perubahan sektoral memerlukan pergerakan tenaga kerja dari sektor yang berproduktivitas
rendah menjadi sektor ekonomi modern. Penelitian ini memberikan wawasan baru terhadap
pertumbuhan Afrika selama dua dekade terakhir. Rata-rata
selama tahun 1990-1999 perubahan struktural di Afrika mengalami penurunan
pertumbuhan ekonomi, namun semenjak itu sebanyak 2000 tenaga kerja berubah dari
kegiatan ekonomi yang berproduktivitas rendah menjadi tinggi. Kontribusi untuk pertumbuhan Afrika sebesar 1
persen per tahun. Migrasi belum banyak dilakukan sehingga kesenjangan masih
banyak terjadi di Afrika.
2.2.12
Penelitian
Margaret McMillan,dkk. (2014)
Kesenjangan
besar dalam produktivitas tenaga kerja antara bagian tradisionaldan modern dari
ekonomi adalah kenyataan fundamental yang berkembang di masyarakat. Dalam tulisan ini, peneliti
menjelaskan kesenjangan
tersebut, dan menekankan bahwa tenaga kerja bergeser
dari kegiatan produktivitas rendah ke produktivitas tinggi. Pada saat
ini, beberapa negara di Afrika masih berusaha mengejar ketertinggalan seperti pada
masa 1 dekade sebelumnya yaitu para
tenaga kerja tidak terampil untuk kegiatan ekonomi modern. Maka dari itu dibutuhkan
peran pemerintah dalam
meningkatkan
produktivitas pertanian di
Afrika dan meningkatnya harga pangan dan komoditas global ditambah dengan tren makro dan
politik yang stabil telah membuat asingdan pengusaha lokal lebih bersedia untuk
berinvestasi dalam agribisnis di
Afrika.
2.2.13
Penelitian Joan Ramón Rosés dan Julio
MartÃnez-Galarraga (2010)
Penelitian ini
memberikan analisis empiris awal dari ketimpangan pendapatan daerah di Spanyol.Penelitimembangun
data basis berdasarkan PDB perkapita yang dibagi menjadi 17 daerah di Spanyol. Pembentukan pasar nasional Spanyol
berkembang secara signifikan dari 1860-1900 karena perbaikan dalam
transportasidan perubahan kelembagaan. Pada saat yang sama,industrialisasi dan
ekspansi perkotaan berlangsung. Sebagai konsekuensinya,share industri dan jasa
di GDP Spanyol tumbuh, sehingga merugikan sektor pertanian. Ketidaksetaraan regional meningkat
secarasubstansial di Spanyol selama fase awal pertumbuhan ekonomi dan industrialisasi.
Selanjutnya,Pertumbuhan ketimpangan ini terutama disebabkan oleh pola divergen
spesialisasi daerah yaitu dengan sangat tidak meratanyadistribusi industri dan jasa. Perluasan industri untuk sejumlah
daerah selama paruh kedua abad
ke-19 meningkatkan
kesenjangan regional; sementara sebaliknya berlaku pada abad ke-20.
2.2.14
Penelitian Francesco Casellidan Wilbur John Coleman (2001)
Penelitian ini menyajikan studi tentang
transformasi struktural (penurunan pertanian sebagai sektor yang mendominasi)
dan konvergensi (wilayah rata-rata upah dari selatan ke utara). Penelitian ini bahwa sebagian besar
konvergensi daerah ini disebabkan oleh transformasi struktur: konvergensi
nasional upah pertanian keupah
non pertanian dan
tingkat transisi yang
lebih cepat dari tenaga
kerja wilayah selatan dari sektor pertanian ke pekerjaan non pertanian. Seiring
waktu, penurunan biaya
pendidikan/pelatihan menginduksi
peningkatan proporsi angkatan kerja untuk
pindah dari sektor pertanian (tidakterampil) kesektor non-pertanian (terampil).
2.2.15
Penelitian Raffaele Paci dan Francesco
Pigliaru (1997)
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi
apakah perubahan struktural adalah kunci utama untuk konvergensi agregat untuk
daerah Italia selama melewati dua dekade.
Peneliti mendapatkan
hasil sebagai berikut: konvergensi agregat merupakan masalah besar pada perubahan
struktural dan tidak dapat ditafsirkan sebagai bukti kuat yang mendukung hipotesa
konvergensi danproses perubahan struktural yang terkait dengan konvergensi
agregattampaknya terbatas pada pergeseran sementara dari sektor
pertanian ke
sektor manufaktur.
Singkatnya, pada daerah
Italia menunjukkan bahwa peran
utama dimainkan oleh perubahan struktural dalam pertumbuhan agregat bersama-sama
dengan tidak adanya signifikansi
statistik untuk dampak konvergensi dalam sektor. Selain itu, peran yang dimainkan
dalam temuan ini perubahan
struktural, tingkat produktivitas awal, dampak geografis dan kebijakan regional diambil bersama-sama secara luas
kompatibel dengan sudut pandang alternatif agregat konvergensi secara singkat dibahas
dalam Bagian 2, terutama yang secara eksplisit didasarkan pada gagasan bahwa proses akumulasi pengetahuan teknologi baik di wilayah
geografis dan lintas sektor produktif. Pada model-model, kekuatan pasar dapat
menghasilkan pertumbuhan yang tidak merata, sementara tindakan sementara
seperti merancang kebijakan
industri dapat mencapai transformasi yang mendalam dalam struktur ekonomi dan tingkat pendapatan relatif.
2.2.16
Penelitian Felicity J.
Protcor (2014)
Pertumbuhan
ekonomi diwilayah
sub-Sahara Afrika, adalah masih
sempit berdasarkan pada produksi dan
ekspor produk
pertanian yang belum diproses, sumber daya alam terbarukan, mineral dan minyak mentah. Bahkan dengan skenario optimis pada pertumbuhan
manufaktur dan sektor
jasa,dalam penciptaan lapangan kerja formal dan efek aglomerasi, itu akan mengambil waktu untuk menyelesaikan transformasi ekonomi. Dengan sekitar
80 persen dari angkatan
kerja diperkirakan akan terlibat dalam sektor
informal, termasuk produktivitas pertanian yang rendah dan usaha rumah tangga,
meningkatkan produktivitas pertanian dan
memperluas agribisnis harus tetap menjadi sebuah prioritas. Upaya komplementer dan baru untuk mendukung diversifikasi pendapatan rumah
tangga dengan memungkinkan pertumbuhan dan
keamanan sektor usaha rumah tangga juga akan menjadi pusat proses transformasi.
Sambil terus menempatkan
prioritas pada ekonomi daninvestasi sektor sosial, pemerintah harus mengutamakan pembangunan pedesaan dalam
strategi nasional dan berkomitmen untuk jangka
panjang. Kebijakan
pembangunan pedesaan dan perkotaan harus dilakukan bersama-sama, idealnya dalam
wilayah atau kerangka pembangunan
regional, untuk memperkuat pasar danlayanan hubungan antara daerah pedesaan dan
perkotaan.
2.2.17
Penelitian Marta Castilho, dkk (2011)
Makalah ini mempelajari
dampak globalisasi terhadap ketimpangan pendapatan rumah tangga dan kemiskinan menggunakan
microdata rinci dinegara Brasil dari tahun 1987 hingga 2005. Makalah
ini menambah literatur terbaru yang mencakup dimensi spasial dalam studi efek liberalisasi
perdaganganpada distribusi pendapatan. Ketersediaan seri yang
panjang survei rumah tangga memungkinkan untuk berbagai langkah-langkah kemiskinan rumah tangga dan ketidaksetaraan di
tingkat negara menjadi dapat dihitung. Ini berarti bahwa analisis
dapat mencakup bagaimana perdagangan mempengaruhi
tidak hanya pekerja, tetapi juga tanggungan mereka dan orang-orang
terlibat dalam sektor non perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan memberikan kontribusi untuk pertumbuhan kemiskinan dan ketidaksetaraan di daerah perkotaandan mungkin terkait dengan pengurangan ketidaksetaraan (kemiskinan) di daerah pedesaan. Dalam hal integrasi diamati ke pasar dunia,peneliti menemukan bukti yang menunjukkan bahwa di Brazil merupakan negara miskin dan penurunan ketidaksetaraan dengan meningkatnya eksposur ekspor tetapi kemiskinan negara meningkat dengan adanya impor.
terlibat dalam sektor non perdagangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa liberalisasi perdagangan memberikan kontribusi untuk pertumbuhan kemiskinan dan ketidaksetaraan di daerah perkotaandan mungkin terkait dengan pengurangan ketidaksetaraan (kemiskinan) di daerah pedesaan. Dalam hal integrasi diamati ke pasar dunia,peneliti menemukan bukti yang menunjukkan bahwa di Brazil merupakan negara miskin dan penurunan ketidaksetaraan dengan meningkatnya eksposur ekspor tetapi kemiskinan negara meningkat dengan adanya impor.
2.2.18
Penelitian Simone Manganelli dan
Alexander Popov (2015)
Makalah ini menjelaskan bagaimana pembangunan keuangan mempengaruhi volatilitas pertumbuhan
PDB melalui saluran
realokasi sektoral. Untuk 28 negara OECD selama periode 1970-2007, peneliti
membangun sebuah portofolio patokan industri yang meminimalkan volatilitas
ekonomi jangka panjang untuk pertumbuhan produktivitas tenaga kerja jangka
panjang. Ditemukan
bahwa pengembangan keuangan secara substansial meningkatkan kecepatan pada
komposisi industri yang
diamati. Hasil
penelitian ini juga
menunjukkan bahwa pengembangan
keuangandapat memiliki implikasi kesejahteraan positif melalui pengurangan
keseluruhan volatilitas
ekonomi. Keuangan
mendorong konvergensi menuju
portofolio di mana beberapa sektor memiliki bobot MVE yang besar, sedangkan sektor lainnya
memiliki bobot MVE yang kecil.
2.2.19
Penelitian Elisa Montresor, dkk.
Proses
konvergensi produktivitas agregat sering bukan karena proses konvergensi di
tingkat sektoral, melainkan untuk perubahan dalam struktur ekonomi regional
mengambil form
dari realokasi kerja dari pertanian ke sektor produktivitas lainnya, lebih
terasa di daerah miskin dari pada yang kaya. Analisis β-konvergensi memungkinkan untuk mengamati
bahwa daerah inti dan daerah perifer berkumpul untuk steady state mereka
sendiri dalam semua kasus ketika dianggap terpisah, tetapi ini rezim spasial
tampaknya agak buatan karena dummies di OLS tidak signifikan. Selain itu,
kecepatan konvergensi dan sifat efek spasial bervariasi berdasarkan sektor.
Melihat variabel spasial disaring, peneliti melihat bahwa sektor dengan
konvergensi yang lebih tinggi adalah pabrik dan non-pasar jasa, diikuti oleh
jasa pertanian dan pasar.
Sebagai kesimpulan, peneliti mencatat bahwa pola β- dan
σ-konvergensi tidak sesuai, menunjukkan bahwa kedua jenis analisis yang
diperlukan untuk memiliki gambaran lengkap dari pola konvergensi di Uni Eropa.
Memang, β-konvergensi adalah perlu tetapi bukan kondisi yang cukup untuk
σ-konvergensi, yang menjelaskan hasil tidak adanya σ-konvergensi dalam
hubungannya dengan signifikan β-konvergensi. Selain faktor spasial memainkan
peran penting dalam menentukan jenis dan 'bentuk' dari proses konvergensi. Struktur ekonomi harus
dipertimbangkan bersama-sama dengan tata ruang; dua faktor ini mempengaruhi diri mereka secara
timbal balik dan, untuk penjelasan lengkap dan dapat diandalkan dari dinamika
ekonomi daerah baik harus secara resmi dimasukkan dalam analisis.
20 Penelitian Maria Sassi (2007)
20 Penelitian Maria Sassi (2007)
Konvergensi
ekonomi dan pertanian di seluruh wilayah Uni Eropa memiliki untuk waktu yang
lama menarik perhatian
ekonom dan terlebih dalam dekade akhir ini menyusul perluasan Uni Eropa.
Tujuan penelitian
ini adalah memahami
ukuran dan evolusi
dari perubahan ini, cara di mana ia telah mempengaruhi agregat konvergensi
ekonomidan jika sektor pertanian telah mempengaruhi proses meskipun kecil dan menurun kan
kontribusi terhadap total PDB membandingkan hasil dari neoklasik danPaci, pendekatan Pigliaru. Analisis
ini menggarisbawahi karakter post-industri
khas dari ekonomi regionalEU-15 dengan sektorpertanian yang dalam hal nilai
tambah memiliki marjinal lebih. Semua daerah dianalisis saham tren ini. Di sektor industri dan jasa, Kecenderungan adalah sebaliknya. Namun,
sektor ini menunjukkan bobot
yang berbeda di seluruhunit teritorial yang kadang-kadang secara signifikan juga
berbeda. Meskipun
pertanian memiliki kontribusi yang terbatas terhadap total nilai tambah, tetapi
sebagai share
nilai tambah dari
sektor ini lebih
besar dari rata-rata, ciri sebagianbesar daerahdan untuk alasan ini bahwa
proses tersebut konvergensi di pertanianekonomi adalah di dasar pengurangan perbedaan
struktural antara 1980
dan 2001.
Hubungan neoklasik
antara awal tingkat
pendapatan dan tingkat pertumbuhannya,
pada kenyataannya, harus ditafsirkan dengan mempertimbangkan fakta bahwa daerah di tiga dari delapan negara
yang dianggap, Spanyol, Irlandia, dan Portugal, ambil bagian,bersama-sama
dengan orang-orang Yunani, di daerah kohesi.Mereka adalah daerah di mana, mulai
dari tahun 1990-an, produktivitas tenaga kerja meningkat secara signifikan.
Kemajuan pesat dalam
teknologi, penelitian dan
pengembangan, dan deregulasi progresif di dasar pengaruh positif darisektor
jasa pada pertumbuhan produktivitas dan konvergensi. Dalam konteks ini,
kelemahan pertanian
muncul. Di sektor ini, output adalah stasioner dari waktu ke waktu,sedangkan di
industri dan terutama sektor jasa output meningkat. Secara khusus, pertumbuhan sektor jasa tampaknya
mengikuti model pembangunan yang meluas dan menyamakan kesenjangan pendapatan antar daerah mendukung
didalam wilayah
ekonomi termiskin untuk
proses marginalisasi peran pertanian.
III.
Temuan dan Kesimpulan
3.1
Temuan
Berdasarkan tinjauan pustaka yang
telah kita kumpulkan dan pelajari kita menemukan dua inti poin yang menarik untuk
pembahasan ini. Pertama, konvergensi
suatu daerah disebabkan oleh transformasi struktur sektoral yang ada di suatu
negara contohnya di negara Italia, di negara Italia terjadi pergeseran sektor
dari sektor pertanian menjadi sektor manufaktur (Paci dan Pigliaru,
1997). Selain negara Italia hal yang sama terjadi pada negara di Afrika. Sejak
tahun 1999 para pekerja di Afrika mulai beralih ke pekerjaan dengan proses
produksi yang memiliki produktivitas tinggi (McMillan, 2014). Penurunan
kontribusi sektor pertanian juga terjadi di Asia selama 3 dekade akhir ini
sedangkan kontribusi industry dan jasa mengalami peningkatan (Felipe dkk,
2009). Namun perubahan ini menimbulkan kesenjangan pertumbuhan yang disebabkan
oleh tidak meratanya perluasan industri di suatu daerah. Untuk mengurangi
kesenjangan, kebijakan pembangunan pedesaan dan perkotaan harus dilakukan bersama-sama,
idealnya dalam wilayah atau kerangka pembangunan regional, untuk memperkuat
pasar dan layanan hubungan antara daerah pedesaan dan perkotaan (Protcor, 2014;
Carluer dan Gaulie, 2005 ; El
Hadj M Bah dan Brada, 2009). Selain
itu, kebijakan
yang meningkatkan inovasi teknologi, pengembangan riset, dan adopsi teknologi
yang cepat menjadi sangat penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi (Griffin
dan Odaki, 2009 ; Felipe, dkk, 2009).
Poin kedua yang menarik dari hasil review kami adalah
bahwa negara atau daerah miskin dengan pendapatan yang rendah akan tumbuh
lebih cepat dibandingkan dengan negara atau daerah kaya dengan pendapatan yang
tinggi sehingga dalam jangka panjang semua negara-negara akan mencapai tingkat
konvergensi yang sama. Pernyataan ini didukung oleh penelitiannya Barro,
dan Sala-i-Martin (1992), Kharisma dan
Saleh (2013) untuk studi kasus di Indonesia, dan Yang dkk (2016). Namun,
ada beberapa faktor yang mempengaruhi konvergensi pendapatan. Beberapa faktor
tersebut antara lain: peran pemerintah dalam Investasi dalam aktiva tetap,
pengeluaran pemerintah untuk pendidikan, kesehatan dan pembangunan
infrastruktur memiliki efek positif pada konvergensi (Yang
dkk, 2016), dan peran pemerintah dalam penyediaan sektor publik (Grigoras,
2015), peran pemerintah dalam meningkatkan
produktivitas pertaniandan meningkatnya harga pangan dan komoditas globalserta
menjamin stabilitas politik membuat asingdan pengusaha lokal lebih bersedia
untuk berinvestasi (Margaret McMillan dkk, 2014). Selain itu menurut Bautista
(2000), modal manusia juga mempengaruhi konvergensi pendapatan. Selanjutnya, Drabo (2010) menambahkanpeningkatan kualitas lingkungan dan
kesehatan memainkan peran yang cukup besar dalam proses konvergensi ekonomi.
3.2
Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat dihasilkan dalam
tulisan ini yaitu tingkat kemakmuran negara yang sudah maju dengan yang dialami
negara-negara berkembang suatu saat akan konvergen, dimana pertumbuhan ekonomi
di berkembang berjalan sangat cepat, bahkan lebih cepat dari negara maju, maka
bukan tidak mungkin suatu saat pendapatan per kapita yang diperoleh daerah
berkembang akan menyamai daerah maju. Hal ini disebabkan adanya transformasi struktur sektoral yang
ada di suatu negara.Namun, ada beberapa faktor yang perlu
diperhatikan antara lain: pembangunan regional yang asimetris, peran penting
pemerintah dalam pendidikan, kesehatan, pembangunan infrastruktur dan
penyediaan sektor publik. Selain itu, peningkatan
kualitas lingkungan.
Referensi
Alassane
Drabo. 2010. Interrelationships Between Health Environment Quality and Economic
Activity: What Consequences For Economic Convergence. International Journal for Quality Research, UDK-338: 502/504/6147.
Alejandro Diaz-Bautista. 2000. Convergence and
Economic Growth in Mexico. Frontera Norte, Volumen 13, No. 24, julio-diciembre, 2000, pp. 85-110.
Barro, Robert J., and Xavier
Sala-I-Martin. 1992. Convergence. The Journal of Political Economy, Volume
100, Issue 2 (April, 1992), P.223-251.
Barro, Robert J., and Xavier
Sala-I-Martin. 1991. Convergence across State and Regions. BrookingPapers
on Economic Activity.
Carluer, Frederic and Guillaume
Gaulier. 2005. The Impact of convergence in industrial mix on regional
comparative growth: empirical evidence from the French case. The Annals of Regional Science
Caselli,
Francesco and Wilbur John Coleman II. 2001. The U.S. Structural Transformation
and Regional Convergence: A Reinterpretation. Journal of Political Economy, Vol. 109 No. 3, pp.584-616
Castilho, Marta, et al. 2011. Trade Liberalization,
Inequality, and Poverty in Brazilian States.
World DevelopmentVol. 40, No. 4, pp. 821–835
El
Hadj M Bah dan Josef C Brada. 2009. Total Factor Productivity Growth Structural
Change and Convergence in the New Members of the European Union. Comparative Economic Studies, 51, P. 421-446
Fang Yang, Shiying, and Xin Yao. 2016. Regional Convergence and Sustainable Development in
China. Sustainability 2016, 8,
121; doi:10.3390/su8020121
Felipe , Jesus, Miguel Leon-Ledesma, Matteo
Lanzafame, dan Gemma Estrada. 2009. Sectoral Engines of Growth in Developing
Asia: Stylised Facts and Implications. Malaysian
Journal of Economic Studies 46 (2): P.107-133
Griffin, Naomi N and Kazuhiko Odaki.
2009. Reallocation and Productivity Growth in Japan Revisiting the Lost Decade
of the 1990s. J Prod Anal (2009) 31: P. 125-136
Kharisma,
Bayu and Samsubar Saleh. 2013. Convergence of Income Among Provinces In
Indonesia, 1984 – 2008: A Panel Data Approch. Journal of Indonesian Economy and Business, Volume 28, Number 2, 2013, 167 – 190
Manganelli,
Simone & Alexander Popov. 2015. Financial Development, Sectoral
Reallocation, and Volatility: International Evidence. Journal of
International Economics. Vol. 96 (2015), pp.
323–337
McMillan,
Margaret & Derek Headey. 2014. Introduction Understanding Structural Transformation
in Afrika. World DevelopmentVol. 63, pp. 1–10
McMillan, Margaret, et al. 2014. Globalization, Structural
Change and Productivity Growth with an Update on Africa. World DevelopmentVol. 63, pp. 11–32
Menteri Perencanaan Pembangunan
Nasional/Kepala Bappenas. 2015. Laporan
Implementasi Konsep Tol Laut 2015. Direktorat Transportasi
Montresor, Elisa, et al.
Sectoral Productivity Convergence Between European Regions: Does Space Matter?.Department of Economics, University of
Verona
Paci,
Raffaele& Francesco Pigliaru. 1997. Structural Change and Convergence: An
Italian Regional Perspective. Structural Change
and Economic Dynamics Vol. 8 (1997), pp. 297-318
Proctor, Felicity J. 2014. Rural economic diversification in sub-Saharan
Africa.
IIED Working Paper. IIED,
London.
Roses, Joan
Ramon, et al. 2010. The Upswing of
Regional Income Inequality in Spain (1860-1930). Explorations in Economic History Vol. 47, pp. 244–257
Sassi, Maria. 2007. Structural Change and Economic Convergence
Across The EU-15 Regions: Can The Agricultural Sector Play a Role?. The
Agricultural Economics Society’s Annual Conference, University of Reading, UK,
2nd to 4th April 2007
Solow, Robert M. 1956. “A
Contribution to the Theory of Economic Growth.” Quarterly
Journal ofEconomics,
vol. 70 No 1. P. 65-94.
Sorin Grigoras. 2015. Public Sector’s Influence on Economic Growth and
Convergence as a Proof of Development. Annals of “Dunarea de Jos”
University of Galati Fascicle I. Economics and Applied Informatics Years XXI –
no3/2015
Taringan, Robinson. 2015. Ekonomi
Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: PT Bumi Aksara, Edisi Revisi
Langganan:
Postingan (Atom)